K.H.
Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal di Jakarta, 28
Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Sukamanah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya.
KH.
Zainal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di
Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan
pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari
keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung
Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa
Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir
tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang
tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zainal Mustofa setelah
ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Hudaeni
memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam
bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan
ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi.
Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah
bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin.
Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di
Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti
ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir
berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat
ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan
tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan
keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu
mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah
haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama
Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula
Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia
menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di
samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok
desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan
ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya.
KH. Zainal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik,
patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah
Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang
Tasikmalaya.
Perlawanan kepada penjajah
Sejak
tahun 1940, KH. Zainal Mustofa secara terang-terangan
mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan
terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial
Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas
perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang
diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah
Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zainal
Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali
Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk
memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara
Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan
baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati
sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut.
Akhir Februari 1942, KH. Zainal Mustofa bersama Kiai
Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini
menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada
waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.
Pada
tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah
yang baru ini, KH. Zainal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia
akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan
Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi
harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zainal Mustofa dengan tegas
menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di
Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya
pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah
memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme
Belanda.
Pasca
perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap
dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin
memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada
masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang
pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan
menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan
dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap
ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu,
semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan
melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan
perintah itu, hanya KH. Zainal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga
mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan
tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya,
orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya.
Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia
yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah
Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan
pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya.
Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada
para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam
romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan
semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zainal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan
terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia
akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase,
memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat
berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk
melaksanakan rencana ini, KH. Zainal Mustofa meminta para santrinya
mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari
bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual
(tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan
para santri ini tercium Jepang. Segera mereka
mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa
anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka
malah ditahan di rumah KH. Zainal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi
tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba,
sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang
meminta agar KH. Zainal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya.
Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga
opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian
disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang
dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam
insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban,
karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut,
menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk
mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar,
pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang
berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah
mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa
sendiri, Zainal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan
perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat,
barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan
lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil
menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal
dengan Pemberontakan Singaparna.
Para
santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di
Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di
Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat
(kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun,
sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke
dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zainal
Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh
pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan
Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban
tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zainal Mustofa.
Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zainal
Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu
rimbanya.
Besarnya
pengaruh KH Zainal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat
serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat
membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika
membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan
tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan
kegiatan apapun.
Belakangan,
Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zainal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan
dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah
seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya
itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para
santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25
Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Mustafa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar